Filsafat dan Makna Hidup Manusia
Oleh: REZA A.A WATTIMENA
Beginilah cerita dari John Cottingham. “Ketika saya masih mahasiswa, semua diskusi soal makna hidup selalu dianggap tidak masuk akal. Padahal banyak orang tertarik untuk mendalami filsafat, karena tersentuh oleh pertanyaan tersebut.” Namun sekarang tema tentang makna dan nilai kehidupan kembali menjadi tema penelitian para filsuf.
Setiap orang ingin agar hidupnya bermakna. Walaupun begitu kekosongan makna juga merupakan bagian dari keberadaan kita sebagai manusia. Berbeda dengan binatang ataupun tumbuhan, manusia sudah selalu memiliki kekosongan dan ketidakpuasan di dalam dirinya. Hal-hal material semata tidak akan mampu membuatnya bahagia. Manusia ingin benda-benda material tersebut memberi arti bagi hidupnya.
Sekarang ini banyak filsuf professional menengok kembali tema-tema terkait dengan makna dan nilai dari hidup manusia. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan biasanya adalah, apakah keberadaan manusia itu hasil dari kebetulan, atau sesuatu yang lebih bermakna? Filsafat Nietzsche dan Darwin memberikan jawaban yang berbeda dari yang diajukan oleh agama-agama besar. Bagi mereka makna dan nilai dari hidup adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia. Tidak ada nilai-nilai ataupun makna abadi.
Bersamaan dengan diskusi tentang makna dan nilai, pertanyaan tentang Tuhan pun kembali diajukan ke depan. Diskusi tentang keberadaan Tuhan kini lebih membumi. Inilah yang membuat filsafat sekarang ini menjadi begitu menarik.
Cottingham menulis tiga buku. Judulnya On the Meaning of Life, The Spiritual Dimension, dan Why Believe? Baginya keberadaan Tuhan tetaplah diperlukan, untuk menjelaskan bahwa hidup manusia itu bermakna. Pada level yang lebih sekular, ada dua nilai yang kiranya dapat membuat keberadaan manusia itu bermakna, yakni keadilan dan kasih dalam arti yang seluas-luasnya.
Hidup manusia itu rapuh. Manusia sendiri pun begitu rapuh. Usaha manusia mencapai makna diancam oleh keterasingan dan kesedihan akut sebagai akibat dari kejahatan. Semua itu bisa dihadapi dengan keberanian dan harapan. Filsafat bisa menawarkan itu. Cottingham menambahkan; “Filsafat tidak pernah menjadi semenarik seperti sekarang ini.” Filsafat tidak lagi kering dan abstrak, namun telah menjadi begitu segar, karena bergulat langsung dengan permasalahan mendasar manusia, yakni makna hidup.
Beginilah cerita dari John Cottingham. “Ketika saya masih mahasiswa, semua diskusi soal makna hidup selalu dianggap tidak masuk akal. Padahal banyak orang tertarik untuk mendalami filsafat, karena tersentuh oleh pertanyaan tersebut.” Namun sekarang tema tentang makna dan nilai kehidupan kembali menjadi tema penelitian para filsuf.
Setiap orang ingin agar hidupnya bermakna. Walaupun begitu kekosongan makna juga merupakan bagian dari keberadaan kita sebagai manusia. Berbeda dengan binatang ataupun tumbuhan, manusia sudah selalu memiliki kekosongan dan ketidakpuasan di dalam dirinya. Hal-hal material semata tidak akan mampu membuatnya bahagia. Manusia ingin benda-benda material tersebut memberi arti bagi hidupnya.
Sekarang ini banyak filsuf professional menengok kembali tema-tema terkait dengan makna dan nilai dari hidup manusia. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan biasanya adalah, apakah keberadaan manusia itu hasil dari kebetulan, atau sesuatu yang lebih bermakna? Filsafat Nietzsche dan Darwin memberikan jawaban yang berbeda dari yang diajukan oleh agama-agama besar. Bagi mereka makna dan nilai dari hidup adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia. Tidak ada nilai-nilai ataupun makna abadi.
Bersamaan dengan diskusi tentang makna dan nilai, pertanyaan tentang Tuhan pun kembali diajukan ke depan. Diskusi tentang keberadaan Tuhan kini lebih membumi. Inilah yang membuat filsafat sekarang ini menjadi begitu menarik.
Cottingham menulis tiga buku. Judulnya On the Meaning of Life, The Spiritual Dimension, dan Why Believe? Baginya keberadaan Tuhan tetaplah diperlukan, untuk menjelaskan bahwa hidup manusia itu bermakna. Pada level yang lebih sekular, ada dua nilai yang kiranya dapat membuat keberadaan manusia itu bermakna, yakni keadilan dan kasih dalam arti yang seluas-luasnya.
Hidup manusia itu rapuh. Manusia sendiri pun begitu rapuh. Usaha manusia mencapai makna diancam oleh keterasingan dan kesedihan akut sebagai akibat dari kejahatan. Semua itu bisa dihadapi dengan keberanian dan harapan. Filsafat bisa menawarkan itu. Cottingham menambahkan; “Filsafat tidak pernah menjadi semenarik seperti sekarang ini.” Filsafat tidak lagi kering dan abstrak, namun telah menjadi begitu segar, karena bergulat langsung dengan permasalahan mendasar manusia, yakni makna hidup.